Seorang gadis remaja berjalan menyusuri pematang sawah. Tubuh tinggi semampai dengan gamis longgar menutupi lekuk tubuhnya. Jilbab biru muda membingkai wajahnya yang putih. Terik mentari menyapu wajah ayu itu hingga memerah. Angin pegunungan mengibar-ngibarkan kerudungnya. Gadis itu melangkahkan kaki tanpa suara. Sunyi. Mengisyaratkan jiwanya yang sunyi pula.
Perlahan gadis itu mencapai gundukan batu besar lalu duduk di atasnya. Pandangan nanar menatap sekitar. Jemari dalam pangkuan terjalin erat. Kedua tangan saling menggenggam. Gemeletuk gigi yang bertautan terdengar samar. Matanya penuh amarah. Seperti bola pijar yang menyala-nyala dalam tatapannya. Kemudian redup penuh kesedihan.
Gadis itu adalah Zahra. Anak yatim piatu yang ditinggal mati ayah ibunya sejak masih kanak-kanak. Kini usianya tujuh belas tahun. Gadis manis berkerudung biru itu tak kunjung bisa melupakan kematian orang tuanya. Kecelakaan yang menewaskan mereka terjadi di depan matanya. Kini Zahra berubah total. Tiada lagi keceriaan di sorot matanya. Sifatnya yang periang berubah menjadi pendiam. Kesedihan dan kepedihan selalu saja menghampiri sanubarinya. Entah sampai kapan. Akankah waktu berkenan memberikan penawar?
Zahra melepas tas sekolah yang tersampir di pundak. Ia mengeluarkan sebuah buku yang di dalamnya terdapat selembar kertas origami dan sebuah pulpen. Ia menuliskan sebuah kalimat di atas kertas itu. Lalu, melipatnya menjadi sebuah pesawat kertas. Sebelum pesawat kertas itu jadi, ia kembali menggumamkan rangkaian kata yang ditulis.
'Ayah, Bunda, Zahra rindu ðŸ˜'
Gadis itu melepas pesawat kertasnya ke arah sungai. Gemercik airnya menambah syahdu suasana. Hati Zahra terasa ringan setelah menyampaikan pesan itu kepada orang tuanya yang telah tiada. Ia mengukir senyum di wajah. Puas. Menyalurkan kerinduan dengan caranya sendiri. Berharap luka itu segera beranjak pergi.
Zahra juga ingin merasakan bahagia seperti remaja seusianya. Ia ingin berdamai dengan masa lalu. Meskipun terasa sulit, ia selalu mencoba. Hingga suatu saat nanti Sang Pengasih mengambil segala luka yang membelenggu hatinya.
Zahra bergegas merapikan tas. Mentari akan beranjak turun, ia harus segera pulang. Ia terlupa mengunci lemari buku. Ia takut jika penghuni panti membaca semua kesedihan yang selama ini disembunyikan. Dia tidak ingin siapa pun menaruh iba padanya. Dia harus tegar. Setegar karang yang tiada henti dihempas ombak lautan.
Semoga Bermanfaat
Penulis: Yulia Wardani
0 Komentar